Ibu kucing nya kayak mami…

entah mengapa kucing ini memilih rumah kami sebagai tempat melahirkan anaknya…

Akhir tahun lalu ketika kami pulang liburan, kami menemukan induk kucing yang baru melahirkan di service area rumah kami. Pintu samping rumah kami memang berupa pintu besi dengan pertimbangan supaya udara masuk ke service area. Setelah tidak ada ART otomatis service area menjadi jarang didatangi kecuali untuk dibersihkan dan memindahkan jemuran ketika hujan.

Saya bukan pencinta hewan dan agak takut dengan hewan. Hal ini yang membuat saya meminta suami saya memindahkan kucing tersebut ke luar rumah. Induk kucing tersebut adalah kucing kampung yang memang berkeliaran di komplek rumah kami.

Minggu lalu, kami kembali menemukan induk kucing tersebut baru melahirkan (lagi) kedua anaknya. Kali ini baik suami maupun Dei meminta saya untuk membiarkan kucing-kucing tersebut untuk beberapa hari karena mereka baru lahir dengan pertimbangan lokasi service area tersebut juga tidak digunakan dan mereka tidak mengganggu. 

Entah mengapa juga induk kucing itu pergi keluar rumah kami beberapa saat setelah saya berangkat kerja, dan ketika saya pulang ke rumah, induk kucing itu juga masuk ke rumah.

Pulang kerja tadi, Dei berkata ke saya “Ibu kucingnya kayak mami, kerja di bank, pagi berangkat kerja trus baru pulang malam. Apalagi hari ini, pulangnya malam karena akhir bulan kejar target.  Ibu kucingnya itu lagi cari NTB sama revenue apalagi kalo targetnya belum nyampe, pasti ibu kucingnya stress nanti dimarahi boss nya”

Saya cukup kaget mendengar Dei berkata demikian karena Dei ternyata sangat ‘mengetahui’ pekerjaan saya. Saya tidak pernah secara khusus bercerita tentang pekerjaan saya kepada Dei, tetapi sepertinya dia menyimak ketika saya berbicara via telepon di rumah dengan atasan, kolega maupun team saya mengenai pekerjaan. Dei juga hapal nama atasan,kolega maupun team saya, padahal saya juga tidak pernah bercerita secara khusus.

Kejadian hari ini mengingatkan saya bahwa anak saya termasuk anak yang mempunyai ingatan luar biasa dan menyimak hal-hal detail yang seringkali tidak saya sadari. Sepertinya saya harus lebih berhati-hati ketika masih mengurusi pekerjaan ketika saya di rumah. Jangan sampai Dei mempunyai pemahaman yang salah mengenai pekerjaan saya. Saya juga harus lebih berhati-hati ketika membicarakan atasan,kolega ataupun team saya…jangan sampai ketika Dei bertemu mereka Dei berkata “Oh ini ya tante A yang kata mami…..”๐Ÿ˜

Perilaku mencerminkan siapa sebenarnya kita

Baru beberapa hari yang lalu saya membaca tulisan salah satu teman di blognya tentang mobilnya yang ditabrak sepeda motor yang meleng.

Malam ini saya mengalami kejadian hampir serupa.
Pulang dari kantor dengan kondisi hujan deras dan macet.
Ketika di traffic light menunggu lampu hijau, mobil di depan saya mundur, driver kantor saya langsung membunyikan klakson beberapa kali, tapi mobil tersebut tetap mundur hingga menabrak mobil saya.
Driver saya langsung turun memeriksa mobil dan pada saat ybs turun, mobil depan saya kembali mundur dan kembali menabrak mobil saya.
Driver saya langsung mengejar mobil tersebut, mengetuk jendela bahkan membuka pintu pengemudi karena mobil tersebut tidak berhenti (saat itu sudah lampu hijau), tetapi mobil tersebut malah tancap gas meninggalkan kami.

Lampu depan, bemper dan plat mobil saya rusak.
Saat itu karena macet, saya tidak bisa mengejar mobil tersebut, tetapi plat mobilnya sudah saya ingat.
Ndilalah, pada saat kami mengarah pulang, kami melihat mobil tersebut mau masuk ke sebuah rumah.
Rumah tersebut ada di jalan raya dan termasuk perumahan elit di Surabaya.

Pada saat itu, kami berhenti di rumah tersebut.
Driver kantor saya kemudian turun dari mobil dan masuk ke rumah tersebut.
Sebenarnya saya juga mau turun, tetapi karena hujan deras, driver saya mengatakan dia saja yang turun.
Saya melihat driver saya kembali mengetuk jendela mobil tersebut dan tetap tidak dibukakan hingga beberapa saat.
Selanjutnya gerbang rumah tersebut ditutup oleh penjaganya.
Setelah cukup lama, driver saya kembali ke mobil.
Ketika saya tanyakan bagaimana pertanggungjawaban mobil yang menabrak kami tersebut, jawabannya sangat mengagetkan.
Driver saya mengatakan bahwa ibu yang menyetir tersebut tidak mengakui perbuatannya, bahkan mengatakan kamilah yang menabrak dan malah memarahi driver saya.

Ibu itu mungkin berfikir hanya ada driver saya di mobil, dia tidak tahu bahwa ada saya di dalam mobil yang dengan jelas menyaksikan apa yang terjadi dan sudah mengambil foto kejadian tersebut.
Saya sangat marah dengan perilaku ibu tersebut karena saya tidak habis pikir bagaimana mungkin dia berperilaku seperti itu, apakah karena dia orang kaya dan yang dia hadapi “hanya” seorang driver, sehingga dia bisa semena-mena?

Saya langsung menelpon Suara Surabaya, radio yang menjadi media komunikasi masyarakat Surabaya dan menceritakan kejadian yang baru saja saya alami.
Sebenarnya, bukan ganti rugi yang saya cari, karena asuransi mobil bisa mengganti kerusakan tersebut, dan saya masih bisa membayar biaya administrasi klaim asuransi tersebut.

Saya hanya marah atas perilaku ibu tersebut terhadap driver saya khususnya. Di tengah hujan deras, driver saya mengejar mobil tersebut, mengetuk jendela dan kemudian hingga di rumah ibu tersebut tidak dibukakan, bahkan malah dimarahi ibu tersebut.

Saya marah karena ibu tersebut tidak bertanggung jawab dan tidak mempunyai itikad baik.

Dengan saya on air di radio melaporkan kejadian yang saya alami, sebenarnya saya hanya berharap ibu tersebut mendengar, atau keluarganya, atau koleganya dan (seharusnya) dia menyadari perbuatannya yang salah.

Benar apa yang dikatakan teman saya tersebut di akhir tulisannya bahwa
kadangkala yang kita butuhkan hanya permintaan maaf,
Kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi,
Tetapi kita bisa melakukan hal yang baik dan berusaha tidak merugikan orang lain.

Walaupun saya berusaha untuk tidak mengutuk atau mendoakan yang tidak baik untuk ibu tersebut, tetap saja saya tidak mampu untuk tidak mengatakan ke driver saya “ya sudah pak, ndak papa ibu tadi seperti itu, nanti pasti dia akan menerima balasan atas perbuatannya” ๐Ÿ˜„

Jalan-Jalan Yuk!

Kalimat tersebut paling sering diucapkan saya, suami dan anak saya.
Banyak teman, kenalan maupun keluarga berkomentar mengenai hal tersebut.
Jalan-jalan terus nih?
Banyak uang deh kayaknya jalan-jalan terus?
Nggak sayang uangnya habis buat jalan-jalan aja?

Bagi kami, jalan-jalan mempunyai banyak makna.
Jalan-jalan membuat kami mempunyai waktu bertiga (yang merupakan hal yang mahal karena saya dan suami bekerja)๐Ÿ‘ช
Jalan-jalan memberikan pengalaman yang tidak bisa dinilai dengan uang
Jalan-jalan berarti kesempatan untuk hunting foto ๐Ÿ˜Ž
Dan masih banyak hal lain yang bisa didapatkan dari jalan-jalan

Kami tidak pernah membutuhkan waktu lama untuk merencanakan jalan-jalan. Seringkali tercetus secara spontan.
Lokasinya juga bisa yang dekat rumah, misalnya wisata mangrove yang hanya berjarak 10 menit dari rumah kami. Biaya yang dikeluarkan tidak sampai 50 ribu untuk bertiga, itupun termasuk naik perahu mengelilingi hutan mangrove. Tapi dari jalan-jalan tersebut, anak saya bisa belajar tentang ekosistem, saya bisa hunting foto dan suami saya bisa wisata kuliner๐Ÿ˜Š
Well, we have our own way to enjoy same place๐Ÿ˜

Jalan-jalan juga seringkali membuka mata hati saya untuk bisa lebih bersyukur atas semua hal dalam hidup
Membuat anak saya mengerti bahwa tidak semua orang mempunyai kehidupan yang sama
Membuat kami semakin menghargai perbedaan yang ada di dunia ini.
Membuat kami bisa berharap hal-hal yang sudah baik di tempat lain bisa terjadi di tempat kami saat ini
Mengajarkan kami untuk fleksibel terhadap unexpected situation and condition

Jadi,
Jalan-jalan yuk…๐Ÿ˜‰

No Nanny No Cry

Bagi sebagian besar pasangan bekerja yang memiliki anak, nanny atau mbak atau mbok sepertinya merupakan satu keharusan.
Lelah karena seharian bekerja di luar rumah, perlu orang untuk membantu menjaga anak adalah alasan terbesar mempekerjakan asisten rumah tangga tersebut.

Dengan kondisi hanya saya,suami dan anak, maka alasan itu juga yang membuat saya pada awalnya merasa wajib memiliki asisten rumah tangga.
Berbagai tipe asisten mengisi kehidupan kami, mulai dari mbok yang sudah lumayan sepuh hingga mbak yang gaul.

Berganti-ganti asisten menjadi hal yang tidak lagi mengagetkan, mulai dari yang pulang tidak kembali hingga saya yang menyerah karena tidak kuat menghadapi mbak tersebut.

Berganti-ganti asisten juga membuat saya jadi sangat pengertian dan permisif, bahkan kebanyakan saya yang harus mengalah dan menerima.
Contohnya ada mbak yang ikut kami lumayan lama, mbak tersebut sering pulang ke kampungnya, dan sekali pulang bisa seminggu hingga dua minggu. Karena pada waktu itu saya malas kalau harus ganti mbak lagi, saya mengalah dengan membiarkan hal itu terjadi. Contoh lainnya adalah saya jadi menurunkan standar mengenai kebersihan rumah karena nanti kalau terlalu saklek katanya mbaknya tidak betah.
Belum lagi makan hati karena beragam tingkah laku asisten yang sebenarnya saya tidak cocok, tapi karena alasan malas ganti-ganti mbak membuat saya berusaha untuk tidak terlalu diambil hati.

Sebenarnya alasan utama mempekerjakan asisten adalah untuk menemani anak saya di rumah. Untuk pekerjaan rumah sebenarnya tidak terlalu banyak. Anak saya pulang sekolah jam 3 sore, rumah saya juga tidak besar sehingga untuk urusan bersih-bersih dan beres-beres paling lama menghabiskan waktu 3jam.

Berganti-ganti asisten membuat saya cukup kewalahan, mulai dari harus mengajari lagi dan menyesuaikan diri lagi. Belum lagi karena saya mencari asisten lewat yayasan, biaya administrasi yang harus dikeluarkan menjadi besar sekali.

Hingga pada bulan september tahun lalu, ketika mbak yang kesekian tiba-tiba minta pulang (dengan alasan standar yaitu ada keluarganya yang meninggal, alasan ini herannya menjadi alasan yang paling banyak digunakan para asisten kalau mau berhenti kerja),
saya tidak langsung mencari penggantinya seperti yang biasanya saya lakukan.

Saya berdiskusi dengan suami dan anak saya yang saat itu sudah duduk di kelas 4. Pertanyaan mengenai haruskah kita mempekerjakan asisten menjadi topik diskusi kami.
Berganti-ganti asisten lama-lama membawa masalah baru, yaitu terlalu banyak orang asing yang keluar masuk rumah kami.

Akhirnya saya, suami dan anak saya yang saat itu berusia 9tahun berdiskusi mengenai apakah kami harus mempekerjakan asisten rumah tangga.
Kesepakatan yang kami hasilkan adalah kami mau mencoba tanpa asisten rumah tangga.

Kekhawatiran terbesar adalah bagaimana anak saya tanpa asisten rumah tangga.
Apakah tidak bahaya meninggalkan anak sendirian di rumah?
Nanti siapa yang menyiapkan keperluannya?
Nanti kalau apa-apa minta bantuan siapa?

Meninggalkan anak di rumah tanpa asisten rumah tangga memerlukan persiapan yang matang.
CCTV yang connect dengan gadget sudah kami pasang sejak kami mempekerjakan asisten rumah tangga.
Komplek perumahan kami yang realtif kecil dengan one gate system serta sekuriti yang sudah cukup kami kenal dan usia anak kami yang sudah cukup besar menjadi pertimbangan kami.
Teman-teman anak kami dan tetangga yang sudah kami kenal juga menjadi salah satu yang meningkatkan keyakinan kami untuk mengambil keputusan ini.

Saat yang paling krusial adalah menyiapkan mental anak kami. Kekhawatirannya yang terbesar adalah sendirian di rumah. Saya dan suami memberikan pemahaman kepadanya kalau dia tidak pernah sendiri karena Tuhan senantiasa menjaganya. Kami juga bisa melihatnya via CCTV, ada pak satpam dan tetangga-tetangga juga.

Konsekuensi dari keputusan ini yang jelas lebih capek, karena semua urusan rumah dikerjakan sendiri. Tapi hal itu tidak menjadi beban, karena we are working as a team. Saya, suami dan anak saya berbagi pekerjaan rumah. Untuk urusan setrika, saya serahkan pada laundry dengan biaya 3000/kg. it’s really worth it! Saya dan suami juga bergantian untuk bisa tiba di rumah lebih cepat.

Saya adalah orang yang perfeksionis, tetapi untuk urusan tanpa asisten ini, saya mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri. Pekerjaan rumah yang harus dilakukan setiap hari berkurang menjadi menyapu,mengepel dan mencuci saja. Untuk bersih-bersih lainnya dilakukan di akhir pekan saja.
Kalau pulang kerja kondisi rumah tidak perfect, ya dibersihkan semampunya saja, trying to enjoy every situation๐Ÿ˜

Saat ini kondisi tanpa asisten rumah tangga sudah berjalan hampir 5 bulan. Banyak manfaat yang saya rasakan dengan kondisi ini. My 9yo boy become a responsible child, dia juga sudah bisa mandiri untuk anak seusianya. Saya tidak lagi makan hati akibat ulah para asisten ๐Ÿ˜›, pergi juga tidak kepikiran nanti si mbak tiba-tiba minta pulang. Yang jelas, kami bertiga menjadi semakin dekat dan kompak.

No nanny no cry,
Lagi pula, budget untuk gaji asisten rumah tangga dan biaya administrasi yayasan bisa dialihkan untuk travelling kan? ๐Ÿ˜ƒ

Flashback 2014

2014 has been an amazing year for me. It’s not an easy year, but I’ve learned so many things from 2014.

Dimulai di awal tahun dengan posisi yang baru di tempat kerja saya.
Dari yang semula cuma menghandle
3orang, sekarang jadi hampir 40 orang…trully challenging job…
belum lagi dengan turn over dan bongkar pasang personil sampai dengan di akhir 2014 belum selesai. Tantangan tersebut masih ditambah dengan berbagai perubahan di perusahaan.

Even though 2014’s result still far from perfect, but i thank God that He gave me a great team to walk together.

My team consists of young peoples, we call them Gen Z
banyak suka dukanya kerja bersama dengan generasi yang lahir di akhir 80an hingga 90an ini
mulai dari ketularan bahasa gaul anak muda jaman sekarang sampai kadang-kadang harus berperan jadi ibu mereka๐Ÿ˜„
Yang pasti, kerja bersama dengan generasi ini membutuhkan banyak kesabaran dan energi,
tapi di sisi lain, bekerja dengan mereka membuat saya awet muda dan tidak ada waktu untuk ada di zona nyaman๐Ÿ˜
Tahun 2014 juga cukup menyedihkan, karena saya harus kehilangan anggota2 team terbaik saya,
Tapi 2014 juga memberikan saya banyak anggota team baru yang tidak kalah baiknya

well, life has it’s own secret, all we have to do is live our life, make it meaningful..#lesson I’ve learned

Pada akhir febuari, akhirnya saya yudisium di program master yang saya mulai di awal tahun 2012 lalu. Yudisium tersebut membuat saya bisa lulus tepat waktu dan predikat cum laude bisa saya raih.

Mungkin bagi banyak orang lulus S2 bukan sesuatu yang amazing saat ini,
Tapi bagi saya, it’s my dream come true.

Pada waktu saya lulus S1, yang saya impikan adalah melanjutkan program master.
Tapi karena saya bukan dari keluarga berada membuat saya melupakan impian tersebut.
Saya harus bekerja supaya bisa membantu mami saya membiayai adik-adik saya kuliah juga.

Waktu berjalan hingga saya menikah, mempunyai anak, bisa mempunyai rumah (via KPR tentunya๐Ÿ˜ƒ) dan anak saya sudah duduk di kelas 2 SD.
Suami saya yang mengingatkan akan impian saya waktu lulus S1.
Puji Tuhan saat itu ada rejeki yang bisa digunakan untuk biaya kuliah lagi.
Kuliah lagi dengan status sebagai istri,ibu dan pekerja benar-benar merupakan challenging choice.

Jadwal kuliah saya senin sampai jumat, jam 7 hingga jam 10 malam.
Kampus saya adalah universitas negeri di surabaya, yang sangat strict untuk urusan absen, tugas dan ujian.

Saya ingat sekali waktu direktur MM membriefing kami pada saat pertama masuk, beliau berkata “tidak ada yang memaksa kalian kuliah disini, jadi tidak ada alasan karena pekerjaan dll tidak bisa masuk, mengumpulkan tugas dll”
Saat-saat kuliah adalah saat-saat yang menyenangkan karena saya bisa bertemu dengan banyak teman baru, bisa diskusi dan yang paling penting dapat tambahan ilmu tang sangat luar biasa dari dosen-dosen yang mengajar.
Ada beberapa dosen yang benar-benar membuat saya tidak mau ketinggalan waktu kuliah bersama beliau, karena beliau-beliau memberikan banyak sekali ilmu dan practical case yang bisa diaplikasikan di pekerjaan saya.

Saat-saat mengerjakan tugas dan belajar untuk ujian adalah saat-saat terberat saya.
Kurang tidur, weekend di rumah karena harus mengerjakan tugas, waktu buat keluarga yang hampir tidak maksimal menjadi konsekuensi dari pilihan untuk kuliah lagi.

Ketika sudah memasuki proses pengerjaan tesis, tantangan tersebut semakin memuncak.
Bolak balik ke dosen pembimbing, jenuh karena revisi yang tidak berkesudahan hingga benar-benar down karena merasa tidak ada kemajuan dalam pengerjaan tesis.
Tesis masih separuh jalan, pekerjaan bertambah karena promosi.

Awal januari 2014, saya ke sekretariat MM untuk pembayaran uang semester, karena saya berpikir tidak mungkin tesis saya bisa selesai di febuari.

Lalu mas Tuwari, bagian akademik di MM berkata “mbak, sampeyan nggak eman ta bayar lagi, teman2 sampeyan ada yang sudah mau selesai tesis nya, sampeyan pasti bisa selesai juga tepat waktu, eman lho ipk udah memenuhi tapi masa studi lebih dari 4semester nggak bisa cumlaude. Lagian uangnya kan bisa dipake untuk anaknya sampeyan”.

Deg rasanya saat itu, saya baru benar-benar terpikir kalau saya harus bisa menyelesaikan tesis segera karena semakin lama pasti semakin banyak hambatannya dan semakin malas untuk menyelesaikan.
Thanks to Mas Tuwari yang sudah mengingatkan saya๐Ÿ˜Š

Setelah itu saya langsung ngebut bimbingan ke dosen pembimbing saya, setelah sempat satu bulan saya tinggalkan tesis saya karena merasa jenuh dan tidak ada kemajuan.
Ngebut menulis tesis, kurang istirahat dan beban pekerjaan yang meningkat mengakibatkan saya beberapa kali drop. Puji Tuhan, akhirnya saya bisa yudisium di akhir febuari dengan nilai A.

Selesainya tesis tersebut mengingatkan saya bahwa apabila kita ada kemauan keras dan mau memperjuangkan apa yang menjadi tujuan kita, dengan berkat Tuhan, segalanya bisa terjadi.

Keberhasilan ini sangat bermakna karena bisa saya raih di usia yang sudah 34 tahun, setelah 13 tahun lulus dari S1 dan diantara segala kesibukan sebagai istri,ibu dan pekerja tanpa asisten rumah tangga ๐Ÿ˜€

Banyak teman dan kenalan yang mempertanyakan pilihan saya untuk kuliah lagi, apakah hanya untuk mengejar ambisi pribadi sehingga mengorbankan waktu dan perhatian untuk keluarga, terutama anak saya.

Jawabannya adalah dengan pilihan ini saya mau menunjukkan ke anak saya beberapa hal. Pertama, bahwa mimpi itu bisa diraih dengan kemauan dan kerja keras. Kedua, bahwa mengejar ilmu tidak ada batasnya. Ketiga, bahwa pilihan yang kita buat mengandung konsekuensi dan kita harus siap menjalankan konsekuensi itu.

Tidak mudah memang, tapi dengan penyertaan Tuhan dan dukungan dari keluarga yang sangat luar biasa, mimpi saya bisa terwujud. Saya juga bisa mempertanggungjawabkan pilihan saya tersebut, tidak ada peran dan kewajiban yang saya tinggalkan untuk mengejar mimpi tersebut.

2014 merupakan tahun yang penuh tantangan dan penuh perjuangan. Tapi 2014 juga mengajarkan saya tentang mimpi yang bisa terwujud, tentang tantangan yang bisa ditaklukan dan tentang penyertaan Tuhan yang sungguh tiada batas. He never let me down, He always walking with me in every step I’ve made.

Thank you Lord for amazing 2014!

Finally I’m writing ๐Ÿ˜Š

Setelah sekian lama buat blog ini, baru hari ini nulis disini….๐Ÿ˜
Teringat hasil kuis di medsos tentang your secret talent dan hasilnya my secret talent is being a writer๐Ÿ˜ƒ
But anyway, nulis lagi memang menyenangkan…paling ga bisa mencurahkan perasaan…kayak penyair aja..haha
Semoga hari ini menjadi awal buat tulisan2 berikutnya ๐Ÿ˜œ

QZ 8501

Kejadian jatuhnya AirAsia QZ8501 bagaikan petir di siang bolong, lagi musim liburan dan banyak orang yang dikenal di penerbangan tersebut. Sedih membayangkan situasi pada saat pesawat tsb hilang kontak, apalagi banyak anak2 di penerbangan itu. Kejadian tersebut hanya 2 hari
sebelum saya dan keluarga akan terbang menggunakan maskapai yang sama. Rasanya campur aduk, antara sedih, takut, khawatir. Kalau menuruti takut inginnya tidak jadi pergi, tapi setelah dipikirkan biaya yang sudah dikeluarkan untuk tiket dan hotel, akhirnya mencoba menenangkan diri.
Pada saat mau terbang, segala doa dipanjatkan..tapi begitu masuk pesawat, segala ketakutan muncul kembali. Penerbangan kami adalah connecting flight dengan transit di Kuala Lumpur (dimana rute Sub-Kul) melewati rute yang sama dengan QZ8501. Pada saat itu saya benar2 tidak bisa tidur, padahal itu penerbangan malam yang biasanya begitu masuk pesawat saya langsung tidur. Ketakutan saya semakin memuncak karena pada saat itu cuaca tidak terlalu baik…sepertinya segala doa sudah terucapkan, lalu saya tersadar bahwa apapun yang terjadi adalah sesuai dengan rencanaNya dan kita sebagai ciptaanNya tidak dapat melawan rencanaNya. Saya langsung menjadi lebih tenang dan memasrahkan segala sesuatu pada tanganNya. Ketika pesawat mendarat dengan sempurna di KLIA2, saya hanya bisa mengucapkan Terima kasih Tuhan untuk penyertaanMu. Dan ketika terbang untuk tujuan selanjutnya, saya sudah bisa kembali tidur di pesawat setelah berdoa tentunya ๐Ÿ™‚
Pelajaran yang saya dapat dari kejadian QZ8501 adalah bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan rencanaNya, kita tidak pernah tahu hingga kita mengalaminya. Yang dapat kita lakukan adalah menghargai waktu yang Tuhan berikan kepada kita karena kita tidak pernah tahu kapan waktu tsb akan berakhir. Jangan buang waktu tersebut untuk saling membenci, saling menyakiti atau mengeluh…isi waktu tersebut dengan berbuat sebaik2nya, menyebarkan cinta dan kebaikan bagi sesama…bijak banget ya ๐Ÿ™‚
Tapi kejadian QZ8501 ini benar2 menyadarkan saya bahwa Tuhan benar2 berkuasa atas segalanya dan kita tidak pernah tahu kapan waktu kita berakhir….
Kejadian ini mengingatkan saya untuk lebih menghargai hidup yang Tuhan berikan dan mengingatkan untuk memperbaiki diri ๐Ÿ™‚
Happy New Year 2015, may we have a blessed year!